Rabu, 16 Januari 2013

UJIAN JANGAN PAKE METODE MENGHAPAL


Ada tiga tahap persekolahan yang katanya harus dilalui setiap manusia di Indonesia, yakni SD, SMP dan SMA. Wajib belajar 12 tahun dalam bahasa sehari harinya. Semua institusi pendidikan tersebut untuk menyeleksi peserta didik serta sebagai indikator terhadap kelulusan dan naik kelas pasti selalu melalui mekanisme yang namanya ujian. institusi pendidikan tersebut dalam melaksanakan ujian tertulis pasti lebih mengedepankan yang namanya konsep menghapal pelajaran, apalagi tipikal gurunya yang CBSH (catat buku sampai habis). Biasanya guru seperti ini adalah guru warisan orde baru yang berhasil menjadi tenaga pendidik dengan segepok uang dan segenggam nepotisme,hah katanya sebagai pencerdas kehidupan berbangsa, namun esensinya malah sebaliknya.

Bahkan setelah mengecap yang namanya bangku perkuliahan terkadang, bahkan sering masih diperhadapkan kepada metode ujian yang mengutamakan metode menghapal, kurikulum pendidikan kebanyakan menawarkan materi ujian yang mengutamakan menghapal, dan bukan memahami atau menganalisis, tentu saja hal tersebut memaksa banyak peserta ujian untuk mencontek coba kalau soal ujiannya memahami serta analisis pasti budaya mencontek akan berkurang dan budaya diskusi semakin menanjak Jika ingat waktu dulu maka saya termasuk orang yang sedikit sulit menghafal yang namanya pelajaran apalagi yang ilmu alam , bisa jadi karena tingkat konsentrasi yang rendah atau  rasa malas yang berlebihan  atau mungkin karena memang menghafal adalah pekerjaan yang membosankan menurut saya setelah menunggu, apalagi menunggu diterima cintanya (hehehe).

Faktanya menghapal merupakan cara yang sangat susah untuk mengkoleksi informasi yang ada, selain memeras otak, menghapal dalam prosesnya tidak melatih kinerja otak untuk memecahkan persoalan yang ada.

Sama seperti ketika  ujian berlangsung, dengan ujian yang membutuhkan jawaban dari hasil hapalan dapat menjadi boomerang bagi si peserta ujian, apalagi soal ujiannya menuntut suatu jawaban dengan urutan yang mesti sesuai, bisa saja tiba tiba otak blank terkait yang di hapal pada malam hari sebelum ujian. Jika kejadian tersebut terjadi tentu saja akan muncul ‘kreatifitas’ baru dari peserta ujian.

Nah ketika ujian telah selesai maka banyak informasi yang disimpan di dalam otak justru akan hilang dengan cepat seiring dengan hadirnya perasaan lega setelah ujian selesai dilalui, hal ini dapat di buktikan dengan menanyakan kembali jawaban ujian pada hari besok setelah ujian, kebanyakan kita akan mendapat jawaban lupa.

Sudah seharusnya para tenaga pendidik lebih kreatif dalam memberikan soal ujian kepada peserta didiknya, metode pemahaman dan analis merupakan suatu inovasi dalam pelaksanaan  ujian. Dalam ujian hendaknya diperbolehkan berdiskusi dan membaca buku, kemudian soal yang dihadirkan adalah contoh kasus yang harus dianalisis berdasarkan data dari buku maupun hasil diskusi, yakinlah jawaban setiap peserta ujian pasti tidak akan pernah sama secara keseluruhan, tenaga pendidik sepertinya harus menilai peserta didik dari penyampaian informasi dan pemahaman saat ujian.

Dengan metode seperti ini tenaga pendidik juga akan lebih berpikir luas dalam mencari ide untuk menghadirkan soal yang menantang berpikir peserta didiknya, soal seperti “sebutkan ciri ciri x berdasarkan pendapat y” hanya akan membuat tenaga pendidik malas dalam berpikir dan berinovasi, dan berujung kepada meningkatnya budaya mencontek diantara peserta didik.

UNTUK APA KULIAH?


Menurut saya, kuliah tidak hanya untuk mencari ijazah saja. Tidak hanya untuk mendapatkan title sarjana, memakai toga dengan gelar yang sedemikian rupa dan asumsi mudah mendapatkan kerja. Kuliah juga bukan hanya proses pembelajaran formal yang wajib diikuti oleh seluruh individu, karena pada kenyataannya tidak semua orang sukses bertitle sarjana. Beberapa diantaranya hanya tamatan SMA, bahkan lebih rendah, namun mereka pandai mengatur strategi untuk bisa mengembangkan usahanya yang tentunya disertai tekad, kerja keras dan doa yang kuat.

Kuliah. Sebagian orang menganggapnya kuliah adalah hal yang percuma. “Alah, wong S1 saja banyak yang nganggur, kuliah nggak kuliah sama saja, belajar kan bisa dari mana aja.”. Ada lagi yang mengatakan, bahwa kuliah itu Cuma formalitas saja, bahkan penjurusan yang bersifat “umum” dan tidak spesifik hanyalah kamuflase saja. Bayangkan, pada kenyataannya, lulusan ini bekerja disitu, lulusan itu malah bekerja disini. Begitu misalnya, katanya.

Pelajaran memang bisa didapatkan darimana saja, namun bagi orang yang menghargai waktu, mencintai dirinya sendiri dan berfikir maju, ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Setidaknya, dengan stereotype sebagian orang yang seperti itu terhadap pendidikan di bangku kuliah, kita bisa mematahkannya, yaitu dengan menjadi mahasiswa teladan. Mahasiswa yang tidak hanya kuliah-pulang-sesekali disambi bermain. Di samping kuliah, kita bisa mengadopsi aktivitas-aktivitas lain seperti membaca buku di perpustakaan, bergabung ke komunitas yang bidangnya sesuai dengan minat kita, atau sambil bekerja freelance yang sesuai dengan bidang kita untuk memantapkan karir kita selanjutnya. Hal-hal tersebut menurut saya adalah pilihan dari orang-orang yang mencintai ilmu dan suka belajar.

Semuanya memang kembali kepada diri kita sendiri. Yang penting, ada konsep untuk maju. Ada pola pikir untuk menjadi pribadi yang lebih baik agar bisa memberikan kontribusi untuk kehidupan di sekitar kita, khususnya kepada masyarakat. Pengabdian kita untuk kemajuan masyarakat sangatlah diperlukan mengingat kehidupan tak pernah jauh dari dilemma dan konflik yang merujuk pada labilnya kondisi di berbagai bidang. Intinya, masa depan masih membutuhkan orang-orang hebat, ya, kalau bukan kita, siapa lagi penerusnya.
Kuliah dan tidak kuliah, jangan pernah menyamakan itu. Memang terkadang ada orang yang kuliahnya terkesan “nyeleneh” atau asal-asalan. Namun, jangan pukul rata atas semua itu. Orang yang betul-betul kuliah, betul-betul terlibat dalam atmosfir perkuliahan dan belajar dengan total di dalamnya, tidak bisa disamakan dengan mahasiswa yang belajarnya hanya datang, duduk dan diam di kelas kemudian pulang. Apalagi jika disamakan dengan orang yang tidak kuliah. Namun bukan berarti juga orang yang tidak kuliah lebih buruk, tidak juga. Semuanya tergantung pembawaan diri masing-masin individu dan bagaimana kondisi lingkungan di sekitar mereka.

Lantas, apa yang sebenarnya menjadi pembeda? Jawabannya adalah pola pikir. Setidaknya, kuliah itu dapat mematangkan pola pikir. Dalam perkuliahan, kita dituntut untuk cepat dan sigap dalam mengambil keputusan. Kita dijejali begitu banyak tugas dengan deadline yang ditentukan, hal ini juga berpengaruh terhadap perkembangan individu dalam manajemen waktu. Setidaknya, dengan terbiasa dengan hal-hal seperti itu, kita terlatih untuk bijak dalam memutuskan sesuatu dan dapat menganalisanya terlebih dahulu. Karena dengan banyaknya pengalaman yang didapat saat kuliah, kepekaan kita akan terlatih. Semakin banyak pengalaman, maka semakin peka. Dengan kepekaan itu, kita bisa menyadari konsekuensi apa saja dari keputusan yang akan diambil dan bisa menimbangnya dengan baik sesuai maksud dan tujuan.

Saya selalu ingat kata-kata dosen saya, “Seorang sarjana, walaupun ia pada akhirnya hanya menjadi Ibu Rumah Tangga saja, pasti dia akan beda. Beda dalam mendidik anak-anaknya. Jadi, kuliah itu tidak ada yang sia-sia.”. Kata-kata itu terus terpikir dalam benak saya. Itu bagi perempuan, dan bagi laki-laki, bekerja adalah sebuah keharusan. Maka, semakin banyak pengalaman, semakin luas relasi yang didapat semenjak perkuliahan, maka semakin peka dan semakin bijaklah kita.

Jadi, apapun masa depan kita, tergantung pada kredibilitas yang kita tentukan dari sekarang. Kuliah dan tetap semangat my friends!

PENDIDIKAN FORMAL VS PENDIDIKAN NON FORMAL


Pendidikan, siapa yang tidak mengenyam sebuah pendidikan. Pendidikan bisa kita dapat diberbagai tempat. Pendidikan bisa kita dapat melalui pendidikan formal atau informal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang didapat dari pendidikan yang bersifat tidak resmi, seperti pendidikan alam dan pendidikan lain diluar pendidikan disuatu lembaga sekolah.

Sedangkan pendidikan formal, yaitu pendidikan yang biasa kita lihat di sekitar kita seperti pendidikan yang kita peroleh di sekolah dasar hingga perguruan tinggia. Pendidikan formal cenderung mengarah dan terpaku kepada kurikulum yang ada dan cenderung mengikuti dari suatu sistem tertentu. Pendidikan formal lah yang diakui oleh pemerintah di Indonesia yang disertifikasi serta berijasah sebagai tanda kelulusan. Pendidikan formal yang memadukan pelajaran konstektual dan praktek yang mengharapkan siswa dapat belajar secara teori dan praktek.

Pelajaran formal dengan karakteristik belajar dikelas dan terpusat oleh guru atau dosen sebagai pembimbing dan pengajar dalam pembelajaran formal. Terdapat suatu reward dalam pendidikan formal yaitu nilai atau angka tertentu yang mensimbolkan bahwa siswa tersebut disebut pandai atau memiliki suatu kelebihan.

Selanjutnya, adalah pendidikan informal. Pendidikan ini sangat jarang kita temui di Indonesia, entah sebab apa pendidikan informal cenderung tidak diminati. Apakah karena kurangnya sosialisasi pendidikan informal atau memang kurangnya pendidikan informal di Indomesia. Sebagai contoh, terpadat suatu sekolah alam yang bersifat tidak formal. Pendidikan ini berciri khas karena menggunakan konsep alam. Tempat belajarnya pun bukan di kelas ruangan melainkan di alam yang terbuka dan pelajarannya pun tidak teks book melainkan sebuah ketrampilan-ketrampilan yang dibekali dari tentor yang sudah mahir dengan alam.

Selain ketrampilan yang diajarkan juga tedapat pendidikan yang bersifat etika dan tata krama guna memndidik para siswa agar dapat bersopan santun terhadap masyarakat disekelilingnya. Kemudian, pendidikan informal yang lainnya terkadang tidak kita sadari, tapi sebenarnya pendidikan informal kita dapatkan setiap saat. Misalkan pendidikan keluarga, tentunya kita semua punya keluarga dan disetiap keluarga pasti kita pernah dapat suatu nasehat dari orang tua kita atau dari sanak keluarga kita yang lain.

Hal itu lah yang juga bisa dimasukan dalam pendidikan informal. Pendidikan keluarga, sangat lah penting bagi kehidupan bermasyarakat. Dikarenakan sebelum seseorang terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang terlebih dahulu pasti dapat pendidikan keluarga dan jika di dalam keluarga kita dapat pendidikan yang baik dan terarah seperti pendidikan mengenai akhlaq, etika, cara bertutur kata dan pendidikan yang lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap kebiasaan.

Jika seseorang sudah terbiasa melakukan sesuatunya dengan terbiasa, masa dia akan selalu melakukan sesuatu hal juga dengan seperti apa yang dia biasa lakukan. Atas dasar itu lah pendidikan keluarga sangat diperlukan. Karena jika seseorang telah sukses di dalam keluarganya, bukan tidak mungkin jika seseorang terjun ke dunia masyarakat yang lebih luas dari keluarga, maka masyarakat tersebut akan baik pula tergantung bagaimana keluarga mendidiknya.

Itu lah pelajaran mengenai pendidikan formal dan informal, yang kedua-duanya sebenarnya saling melengkapi dan dapat saling bermanfaat. Kata kunci yang paling penting adalah pendidikan sangat lah diperlukan bagi seseorang agar seseorang dapat berperilaku baik, cerdas, beretika baik di kehidupan bermasyarakat. Jika semua orang di sebuah lingkungan masyarakat memiliki pendidikan yang baik, maka bisa dipastikan di lingkungan tersebut masyarakatnya bisa tentram, damai dan nyaman hanya karena satu hal yaitu pendidikan.

Hal ini harus perlu dibina dan diterapkan disetiap keluarga, karena keluarga merupakan unsur terkecil dalam sebuah masyarakat. Dari hal kecil ini lah pendidikan bisa tumbuh perkembang menjadi besar. Jika dari hal kecil ini bisa dibina dengan baik, maka hal kecil yang tumbuh menjadi besar dapat menjadi baik bula. Tergantung dari bibit yang kita tanam dari awal.

APA ITU ANDRAGOGI?


Kamu anak SD? Bukan, Kamu anak SMP? Bukan, Kamu anak SMA? Bukan, terus apa dong? Mahasiswa dong. Kalo Mahasiswa kenapa masih mengandalkan pelajaran di sekolah, kalo gitu sama aja dong kayak anak Sekolahan -_-“
Yap, kalo temen-temen ngaku anak kuliahan atau mahasiswa sebaiknya menghilangkan beberapa kebiasaan ala anak sekolahan. Anak sekolahan mengerjakan PR, bergantung pada gurunya dan tidak berkembang. Sedangkan kita–kita adalah anak kuliah yang akan berkembang jika kita mencari kalo cuma duduk manis nunggu apa yang dikasih dosen itu tidak akan berkembang. Mahasiswa lebih menganut pembelajaran Andragogi, yang akan kita bahas di artikel ini.
Andragogi adalah ilmu atau seni yang membantu orang dewasa belajar. Andragogi adalah kelanjutan dari Paedagogi yang banyak memberikan tanggung jawab segala keputusan tentang pembelajaran kepada gurunya dan meletakan murid sebagai dalam satu peranan yang terikat.
Malcolm Knowles dalam bukunya The ModernPractice for Adult Education menekankan bahwa dasar Andargogi setidaknya ada empat asumsi yaitu; Konsep kemandirian mengatur diri; pengalaman orang dewasa adalah khazanah; kesiapan untuk belajar bergantung pada kebutuhan; dan orientasi pada belajar adalah berpusat pada kehidupan atau masalah.
Lebih rincinya berikut ini:
1. Mandiri (Self Dirrecting)
Mahasiswa seyogyanya dilibatkan dalam proses perencanaan pembelajaran karena dosen hanya berperan sebagai pemandu atau sumber materi. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab bersama antara mahasiswa dan dosen karena dosen menjadi sumber dan katalisator.
2. Banyak dan beragam pengalaman
Keaneka ragaman pengalaman mahasiswa memiliki tiga implikasi:
a. Teknik – teknik partisipatoris yang eksperensial seyogyanya digunakan agar dapat membuka pengalaman – pengalaman mahasiswa
b. Provision seyogyanya dibuat untuk mahasiswa untuk merencanakan bagaimana mengaplikasikan hasil belajarnya ke dalam kehidupan nyata
c. Kegiatan – kegiatan seyogyanya bergabung menjadi satu dan mendorong mahasiswa untuk memperhatikan pengalaman – pengalaman secara objektif dan belajar bagaimana belajar yang sesungguhnya itu dari mereka
3. Siap untuk belajar
Kurikulum diorganisir agar mempertemukan keperdulian kehidupan nyata individu, daripada hanya memenuhi satu tuntutan untuk mensponsori lembaga semata. Konsep kesiapan yang bersifat berkembang seyogyanya dipandang dalam pengelompokan mahasiswa. Bagi sejumlah konsep belajar, kelompok homogen lebih efektif, dan bagi bentuk lain belajar, kelompok heterogen lebih efektif.
4. Berpusat pada kinerja (performance)
Sejumlah implikasi muncul dari pernyataan ini:
a. Dosen mutlak menyesuaikan diri dengan kebutuhan individual dan mengembangkan pengalaman belajar yang relevan dengan kebutuhan


b. Mengorganisir kegiatan belajar mahasiswa yang sesuai dengan konteks wilayah – wilayah masalah, bukan hanya materi mata kuliah
c. Sedini mungkin dalam sesi pembelajaran mahasiswa, harus ada satu proses latihan dimana mahasiswa berkesempatan mengidentifikasi persoalan – persoalan tertentu yang dapat mereka pecahkan dengan lebih memadai.
Jika pertanyaannya adalah mengapa harus menggunakan Andragogi?
Karena mahasiswa bukan lagi siswa yang harus digiring kesana kemari dalam pencarian ilmu, kalau kita sebagai mahasiswa masih saja mengikuti apa yang dikatakan dosen dan tidak mengkritisi ketika dosen “mencekoki” kita dengan berbagai hal – hal baru. Apa bedanya kita dengan anak TK atau anak SD?
Kita sebagai mahasiswa memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang seluas – luasnya, bahkan saya pernah dengar di beberapa perguruan tinggi dosen hanya datang, presensi dan keluar lagi setelah menanyakan tugas atau pertanyaan tentang mata kuliahnya. Hal ini sah saja saya rasa, karena memang dosen seharusnya tidak terlalu banyak mengoceh hal – hal yang tidak jelas. Ambilah contoh seorang dosen yang lebih sering menceritakan pengalaman pribadinya ketimbang materi. Saya rasa lebih baik ia menggunakan metode datang – presensi – pulang begitu saja daripada celotehannya tidak bermafaat.
Namun adapula mahasiswa yang selau menjadi “buntut” para dosen, mahasiswa yang seperti itu tak ada bedanya dengan anak SD saja.
Ya setidaknya ketika sesuatu tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, mahasiswa dan dosen sama – sama saling memperbaiki demi kebaikan bersama. Toh tidak ada salahnya ketika dosenpun belajar dari mahasiswanya. Karena pembelajaran Andragogi menekankan pada kemandirian dan share, dan prinsip Long Life Education harus terus digenggam. Sehingga pendidikan di Indonesia akan semakin menuju kearah yang positif dan dapat dibanggakan